Malanginside

26 August 2008

Dimas in da News

Asap-Asap yang Membeku
Rokok
Agus S. Riyanto dan Julianto

”SAYA takut membawa kalkulator,” kata Dimas Prayudi. Perilaku aneh sang pengusaha ini baru muncul akhir April lalu. Ketika itu, Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) perusahaan rokok (PR) FH Prima miliknya dibekukan oleh Kantor Bea dan Cukai Malang, Jawa Timur. Dimas jeri dengan mesin hitung karena ia tak bisa membayangkan betapa besar kerugian yang bakal dialaminya akibat sanksi dari Kantor Bea dan Cukai tadi.

Pembekuan tersebut tak hanya dialami oleh PR FH Prima. Sepanjang Mei ini, Bea dan Cukai juga membekukan 19 pabrik rokok lainnya di Malang. Pabrik-pabrik itu dituduh telah melakukan kecurangan dalam urusan cukai rokok, misalnya menjual rokok tanpa membayar cukai, memperjualbelikan pita cukai yang sudah diperoleh, maupun sengaja menempel pita cukai rokok yang bukan peruntukannya.
Pabrik-pabrik yang NPPBKC-nya dibekukan tentu tak boleh lagi membeli pita cukai rokok. Maka, rokok produksi mereka pun tak bisa dijual. Tak hanya itu, sekitar 15 ribu karyawan pabrik rokok di Malang terancam menganggur akibat pembekuan ini.

Kisah pembekuan pabrik rokok ini bermula dari temuan Bea dan Cukai, Makassar, pada Januari dan Februari lalu. Saat itu Bea dan Cukai berhasil menyita 1,4 juta bungkus rokok yang pita cukainya diduga dipalsukan. Rokok-rokok itu hasil dari mengobok-obok delapan gudang di Makassar.
Berdasarkan pencacahan yang dilakukan hingga 21 Februari 2007, diketahui terjadi pelanggaran berupa penggunaan pita cukai milik 97 perusahaan. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 2,8 miliar. Kerugian ini terdiri dari Rp 2 miliar dari sektor cukai dan Rp 800 juta dari Pajak Pertambahan Nilai (PPn).
Setelah diteliti, diketahui bahwa rokok-rokok itu dibuat oleh perusahaan-perusahaan rokok di Kediri, Jepara, Kudus, Pasuruan, Surabaya, dan Malang. Akhirnya, keluarlah pembekuan NPPBKC terhadap 20 perusahaan rokok di Malang itu tadi.
Kreativitas para pengusaha pabrik rokok di Malang itu, menurut Ismanu Soemiran (Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia), muncul akibat kenaikan harga dan pembatasan kuota. Sejak 1 Maret lalu harga jual eceran rokok dinaikkan sebesar 7% dan diberlakukan tarif spesifik Rp 7, Rp 5, dan Rp 3 per batang untuk tiap golongan, mulai 1 Juni nanti. Produksi juga dibatasi, golongan I maksimal memproduksi 2 miliar batang per tahun, golongan II (500 juta—2 miliar), dan golongan III (maksimal 500 juta).
Sejak beberapa tahun lalu, cukai rokok memang acap mengalami kenaikan. Di tahun 2001, kenaikan itu bahkan pernah mencapai tiga kali lipat. Sudah begitu, angka penjualan rokok juga terus menurun. Tahun 2000, tercatat ada 325 miliar batang rokok yang diisap oleh orang-orang Indonesia. Di tahun 2005 silam, kebanyakan orang kelihatannya mulai jeri merokok. Tercatat, hanya 200 miliar batang tembakau yang habis terbakar. Tahun 2006, angka itu bahkan sudah berada di level 199 miliar batang.
Di sisi lain, jumlah pabrik rokok justru bertambah. Ismanu menuturkan, saat ini sudah ada 3.290 pabrik rokok di seluruh Tanah Air. Padahal, delapan tahun silam, jumlah itu baru 600-an saja. Kebanyakan, pabrik-pabrik baru tadi merupakan pabrik rokok ukuran kecil. ”Umumnya malah merupakan pabrik skala rumahan,” ujar Ismanu. Makanya, Ismanu menilai, industri rokok saat ini sungguh tidak sehat.
Sebagian produsen rokok mungkin mengira, mereka perlu ”kreativitas” lebih untuk mempertahankan usahanya. Salah satu kreativitas itu rupanya adalah melakukan jual-beli pita cukai. Toh, bagi pengusaha rokok yang kesulitan likuiditas, cara paling gampang memperoleh duit adalah dengan menjual cukai. Mereka memperoleh satu rim pita cukai untuk rokok sigaret keretek tangan (SKT) yang isinya 60 ribu keping, seharga Rp 50 juta. Pita itu didapat dengan cara kredit dan dibayar tiga bulan kemudian.
Kala butuh duit secara cepat, pita cukai itu bisa dijual dengan harga Rp 60 juta. Oleh pembeli, tentu saja juga pengusaha rokok, pita cukai itu ditempel pada rokok kemasan sigaret keretek mesin (SKM) yang harga semestinya mencapai Rp 109 juta per rim.
Ismanu menuturkan, perilaku menjual cukai banyak diidap oleh para calo. ”Ada yang tak punya karyawan, tak pernah memproduksi rokok, tetapi hanya punya gudang,” kata Ismanu. Mereka lantas mengajukan NPPBKC dan memperoleh jatah pita cukai dan dijual.
Kreativitas lainnya adalah dengan menjual rokok tanpa cukai. Atas nama otonomi daerah, para bupati di sejumlah sentra produksi rokok di Jawa Tengah dan Jawa Timur memang acap membebaskan para produsen rokok kecil itu dari kewajiban membayar cukai. Tentu saja itu akan sangat menguntungkan. Sebab, nilai cukai untuk rokok buatan pabrik kecil bisa mencapai 20% dari harga jual.
Para bupati itu lalu meminta produsen rokok tadi tidak menjual produknya ke luar wilayah kabupaten. Sebuah permintaan yang tidak kelewat berat. Toh, pelanggan pabrik rokok kecil kebanyakan memang orang-orang situ juga. Ismanu menuturkan, dari 3.290 pabrik rokok di Indonesia, yang memesan pita cukai hanya sekitar 800 perusahaan. Itu artinya, mayoritas pabrik rokok menjual produknya tanpa cukai.
Masih mending kalau rokok yang dijual itu merupakan produk dengan merek mereka sendiri. Seorang sumber mengatakan, bisa saja sejumlah pabrik rokok kecil tadi membuat rokok palsu dengan merek-merek ternama dan menjualnya tanpa cukai di beberapa kawasan tertentu. ”Atau, mereka juga bisa membikin pita cukai palsu,” ujar sumber itu.
Namun, ini kali, urusan kreativitas tersebut ternyata berakibat pada pembekuan pabrik. Ali Dja’far, pemilik PR Adi Bungsu, mengaku bersalah dan keliru memasang pita cukai. Rokok yang dibuat tangan (SKT) dikenai cukai 8% dari harga jual, sementara rokok buatan mesin (SKM) dikenai 26%. Nah, cukai untuk rokok SKT oleh Dja’far ditempel di kemasan rokok SKM. ”Saya memang salah. Saya malu ngomong sama wartawan,” akunya.
Sejak kapan Dja’far melakukan praktik ini? Dia mengaku tak mengetahuinya. Alasannya, yang melakukan penempelan adalah karyawannya di pabrik. ”Saya enggak tahu. Anak-anak (karyawan) yang melakukannya,” papar dia.
Tapi, Dimas Prayudi bersikap. Ia sangat geram dengan keputusan pembekuan NPPBKC itu. Alasannya, Bea dan Cukai baru menduga kalau perusahaannya ikut dalam praktik jual beli pita cukai. ”Itu baru dugaan. Kenapa langsung tak boleh membeli pita?”
Dimas menolak bila perusahaannya dikatakan menjual cukai. Alasannya, perusahaannya mampu memproduksi 800 bal atau 1,92 juta batang per hari. Dalam setahun, dia mampu memproduksi 576 ratus juta batang. ”Kami kelebihan produksi. Masak mau menjual pita cukai?” kata dia.
Akibat pembekuan itu, kini PR FH Prima harus meliburkan 1.000 karyawannya sejak seminggu lalu. Meskipun libur, PR FH Prima tetap memberi upah 1.000 karyawan itu Rp 5.000 hingga Rp 10 ribu per orang per hari.
Belum lagi, dia harus membayar Rp 2,5 miliar kepada Bea dan Cukai Malang dalam bulan ini. Uang itu untuk membayar pita cukai yang dia beli tiga bulan lalu. ”Dari mana saya dapat duit? Lima gudang saya penuh rokok yang tak bisa dijual, karena tak ada cukainya,” keluh dia.
Tentu saja hal ini disanggah oleh Barit Effendi, Kepala Kantor Bea dan Cukai, Malang. Menurutnya, keputusan itu dia buat atas perintah Bea dan Cukai pusat dari hasil gelar perkara kasus rokok ilegal di Makassar. Kasus ini nantinya akan ditingkatkan ke arah penyidikan dan akan ditangani kejaksaan. Bagi yang tak terbukti, pembekuan itu akan dicabut.
Belum ditangani kejaksaan langsung dibekukan? ”Ketentuannya begitu. Tanya saja ke pusat,” elak dia.
Apa pun keputusannya, nasib 15 ribu karyawan harus di atas segalanya. 


posted by Dimas at 12:36 PM

<< Home