Malanginside

27 December 2009

Sebelum Kamu Menceraikanku, Gendonglah Aku!

Pada hari pernikahanku, aku membopong istriku. Mobil pengantin berhenti didepan flat kami yang cuma berkamar satu. Sahabat-sahabatku menyuruhku untuk membopongnya begitu keluar dari mobil. Jadi kubopong ia memasuki rumah kami.Ia kelihatan malu-malu. Aku adalah seorang pengantin pria yang sangat bahagia.Ini adalah kejadian 10 tahun yang lalu. Hari-hari selanjutnya berlalu demikian simpel seperti secangkir air bening.

Kami mempunyai seorang anak, saya terjun ke dunia usaha dan berusaha untuk menghasilkan banyak uang. Begitu kemakmuran meningkat, jalinan kasih diantara kami pun semakin surut. Ia adalah pegawai sipil. Setiap pagi kami berangkat kerja bersama-sama dan sampai dirumah juga pada waktu yang bersamaan.Anak kami sedang belajar di luar negeri. Perkimpoian kami kelihatan bahagia. Tapi ketenangan hidup berubah dipengaruhi oleh perubahan yang tidak kusangka-sangka. Dewi hadir dalam kehidupanku. Waktu itu adalah hari yang cerah. Aku berdiri di balkon dengan Dewi yang sedang merangkulku. Hatiku sekali lagi terbenam dalam aliran cintanya. Ini adalah apartment yang kubelikan untuknya.Dewi berkata , “Kamu adalah jenis pria terbaik yang menarik para gadis.”

Kata-katanya tiba-tiba mengingatkanku pada istriku. Ketika kami baru menikah, istriku pernah berkata, “Pria sepertimu, begitu sukses, akan menjadi sangat menarik bagi para gadis.”Berpikir tentang ini, Aku menjadi ragu-ragu. Aku tahu kalo aku telah menghianati istriku. Tapi aku tidak sanggup menghentikannya. Aku melepaskan tangan Dewi dan berkata, “Kamu harus pergi membeli beberapa perabot, O.K.?". Aku ada sedikit urusan dikantor,”Kelihatan ia jadi tidak senang karena aku telah berjanji menemaninya. Pada saat tersebut, ide perceraian menjadi semakin jelas dipikiranku walaupun kelihatan tidak mungkin. Bagaimanapun, aku merasa sangat sulit untuk membicarakan hal ini pada istriku. Walau bagaimanapun ku jelaskan, ia pasti akan sangat terluka. Sejujurnya,ia adalah seorang istri yang baik. Setiap malam ia sibuk menyiapkan makan malam.

Aku duduk santai didepan TV. Makan malam segera tersedia. Lalu kami akan menonton TV sama-sama. Atau aku akan menghidupkan komputer, membayangkan tubuh Dewi. Ini adalah hiburan bagiku. Suatu hari aku berbicara dalam guyon, “Seandainya kita bercerai, apa yang akan kau lakukan? “Ia menatap padaku selama beberapa detik tanpa bersuara. Kenyataannya ia percaya bahwa perceraian adalah sesuatu yang sangat jauh darinya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ia akan menghadapi kenyataan jika tahu bahwa aku serius.

Ketika istriku mengunjungi kantorku, Dewi baru saja keluar dari ruanganku. Hampir seluruh staff menatap istriku dengan mata penuh simpati dan berusaha untuk menyembunyikan segala sesuatu selama berbicara dengan ia. Ia kelihatan sedikit kecurigaan. Ia berusaha tersenyum pada bawahan-bawahanku. Tapi aku. membaca ada kelukaan di matanya. Sekali lagi, Dewi berkata padaku,” He Ning, ceraikan ia, O.K.? Lalu kita akan hidup bersama.”Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak boleh ragu-ragu lagi. Ketika malam itu istriku menyiapkan makan malam, aku pegang tangannya,”Ada sesuatu yang harus kukatakan”. Ia duduk diam dan makan tanpa bersuara. Sekali lagi aku melihat ada luka. dimatanya. Tiba-tiba aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi ia tahu kalo aku terus berpikir. “Aku ingin bercerai”, aku ungkapkan topik ini dengan serius tapi tenang. Ia seperti tidak terpengaruh oleh kata-kataku, tapi ia bertanya secara lembut,”kenapa?”
“Aku serius.”Aku menghindari pertanyaannya. Jawaban ini membuat ia sangat marah. Ia melemparkan sumpit dan berteriak kepadaku,”Kamu bukan laki-laki!”.Pada malam itu, kami sekali saling membisu. Ia sedang menangis. Aku tahu kalau ia ingin tahu apa yang telah terjadi dengan perkimpoian kami. Tapi aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan sebab hatiku telah dibawa pergi oleh Dewi.Dengan perasaan yang amat bersalah, Aku menuliskan surat perceraian dimana istriku memperoleh rumah, mobil dan 30% saham dari perusahaanku.

Ia memandangnya sekilas dan mengoyaknya jadi beberapa bagian. Aku merasakan sakit dalam hati. Wanita yang telah 10 tahun hidup bersamaku sekarang menjadi seorang yang asing dalam hidupku. Tapi aku tidak bisa mengembalikan apa yang telah kuucapkan. Akhirnya ia menangis dengan keras didepanku, dimana hal tersebut tidak pernah kulihat sebelumnya. Bagiku, tangisannya merupakan suatu pembebasan untukku. Ide perceraian telah menghantuiku dalam beberapa minggu ini dan sekarang sungguh-sungguh telah terjadi. Pada larut malam, aku kembali ke rumah setelah menemui klienku. Aku melihat ia sedang menulis sesuatu. Karena capek aku segera ketiduran. Ketika akuterbangun tengah malam, aku melihat ia masih menulis. Aku tertidur kembali.Ia menuliskan syarat-syarat dari perceraiannya. Ia tidak menginginkan apapun dariku, tapi aku harus memberikan waktu sebulan sebelum menceraikannya, dan dalam waktu sebulan itu kami harus hidup bersama seperti biasanya. Alasannya sangat sederhana: Anak kami akan segera menyelesaikan pendidikannya dan liburannya adalah sebulan lagi dan ia tidak ingin anak kami melihat kehancuran rumah tangga kami. Ia menyerahkan persyaratan tersebut dan bertanya,” He Ning, apakah kamu masih ingat bagaimana aku memasuki rumah kita ketika pada hari pernikahan kita?” Pertanyaan ini tiba-tiba mengembalikan beberapa kenangan indah kepadaku. Aku mengangguk dan mengiyakan. “Kamu membopongku dilenganmu”, katanya,“Jadi aku punya sebuah permintaan, yaitu kamu akan tetap membopongku pada waktu perceraian kita. Dari sekarang sampai akhir bulan ini, setiap pagi kamu harus membopongku keluar dari kamar tidur ke pintu. ”Aku menerima dengan senyum. Aku tahu ia merindukan beberapa kenangan indah yang telah berlalu dan berharap perkimpoiannya diakhiri dengan suasana romantis. Aku memberitahukan Dewi soal syarat-syarat perceraian dari istriku. Ia tertawa keras dan berpikir itu tidak ada gunanya. “Bagaimanapun trik yang ia lakukan, ia harus menghadapi hasil dari perceraian ini,” ia mencemooh.Kata-katanya membuatku merasa tidak enak. Istriku dan aku tidak mengadakan kontak badan lagi sejak kukatakan perceraian itu. Kami saling menganggap orang asing. Jadi ketika aku membopongnya dihari pertama, kami kelihatan salah tingkah. Anak kami menepuk punggung kami, ”Wah, papa membopong mama, mesra sekali” Kata-katanya membuatku merasa sakit. Dari kamar tidur ke ruang duduk, lalu ke pintu, aku berjalan 10 meter dengan ia dalam lenganku. Ia memejamkan mata dan berkata dengan lembut,” Mari kita mulai hari ini, jangan memberitahukan pada anak kita.”Aku mengangguk, merasa sedikit bimbang. Aku melepaskan ia di pintu. Ia pergi menunggu bus, dan aku pergi ke kantor.

Pada hari kedua, bagi kami terasa lebih mudah. Ia merebah di dadaku, kami begitu dekat sampai-sampai aku bisa mencium wangi dibajunya. Aku menyadari bahwa aku telah sangat lama tidak melihat dengan mesra wanita ini. Aku melihat bahwa ia tidak muda lagi, beberapa kerut tampak di wajahnya. Pada hari ketiga, ia berbisik padaku, “Kebun diluar sedang dibongkar, hati-hati kalau kamu lewat sana.”

Hari keempat, ketika aku membangunkannya, aku merasa kalau kami masih mesra seperti sepasang suami istri dan aku masih membopong kekasihku dilenganku. Bayangan Dewi menjadi samar. Pada hari kelima dan enam, ia masih mengingatkan aku beberapa hal, seperti, dimana ia telah menyimpan baju-bajuku yang telah ia setrika, aku harus hati-hati saat memasak,dll. Aku mengangguk. Perasaan kedekatan terasa semakin erat. Aku tidak memberitahu Dewi tentang ini.Aku merasa begitu ringan membopongnya. Berharap setiap hari pergi ke kantor bisa membuatku semakin kuat. Aku berkata padanya,”Kelihatannya tidaklah sulit membopongmu sekarang” Ia sedang mencoba pakaiannya, aku sedang menunggu untuk membopongnya keluar. Ia berusaha mencoba beberapa tapi tidak bisa menemukan yang cocok. Lalu ia melihat,”Semua pakaianku kebesaran”. Aku tersenyum. Tapi tiba-tiba aku menyadarinya sebab ia semakin kurus itu sebabnya aku bisa membopongnya dengan ringan bukan disebabkan aku semakin kuat. Aku tahu ia mengubur semua kesedihannya dalam hati.Sekali lagi , aku merasakan perasaan sakit. Tanpa sadar ku sentuh kepalanya. Anak kami masuk pada saat tersebut.“Pa,sudah waktunya membopong mama keluar” Baginya,melihat papanya sedang membopong mamanya keluar menjadi bagian yang penting. Ia memberikan isyarat agar anak kami mendekatinya dan merangkulnya dengan erat. Aku membalikkan wajah sebab aku takut akuakan berubah pikiran pada detik terakhir. Aku menyanggah ia dilenganku, berjalan dari kamar tidur, melewati ruang duduk ke teras. Tangannya memegangku secara lembut dan alami. Aku menyanggah badannya dengan kuat seperti kami kembali ke hari pernikahan kami. Tapi ia kelihatan agak pucat dan kurus, membuatku sedih.Pada hari terakhir,ketika aku membopongnya dilenganku, aku melangkah dengan berat. Anak kami telah kembali ke sekolah. Ia berkata, “Sesungguhnya aku berharap kamu akan membopongku sampai kita tua”.Aku memeluknya dengan kuat dan berkata, “Antara kita saling tidak menyadari bahwa kehidupan kita begitu mesra”. Aku melompat turun dari mobil tanpa sempat menguncinya. Aku takut keterlambatan akan membuat pikiranku berubah. Aku menaiki tangga. Dewi membuka pintu. Aku berkata padanya,” Maaf Dew, Aku tidak ingin bercerai. Aku serius”. Ia melihat kepadaku, kaget. Ia menyentuh dahiku. “Kamu tidak demam”. Kutepiskan tanganya dari dahiku, “Maaf, Dew, Aku cuma bisa bilang maaf padamu, Aku tidak ingin bercerai. Kehidupan rumah tanggaku membosankan disebabkan ia dan aku tidak bisa merasakan nilai-nilai dari kehidupan, bukan disebabkan kami tidak saling mencintai lagi. Sekarang aku mengerti sejak aku membopongnya masuk ke rumahku, ia telah melahirkan anakku. Aku akan menjaganya sampai mati. Jadi aku minta maaf padamu”

Dewi tiba-tiba seperti tersadar. Ia memberikan tamparan keras kepadaku dan menutup pintu dengan kencang dan tangisannya meledak. Aku menuruni tangga dan pergi ke kantor. Dalam perjalanan aku melewati sebuah toko bunga, ku pesan sebuah buket bunga kesayangan istriku. Penjual bertanya apa yang mesti ia tulis dalam kartu ucapan? Aku tersenyum, dan menulis ” Aku akan membopongmu setiap pagi sampai maut memisahkan… ”

(Cerita indah dan pelajaran berharga buat kita bahwa kita tidak bisa menghindari kejadian seperti ini akan singgah dalam kehidupan kita) By Dandan Hamdani


Tanda tanganku

Lanjutan...
posted by Dimas at 3:59 PM

22 December 2009

To All MoThErS - HaPpY AnNivErSaRy I

Bila dahaga, yang susukan aku....ibu
Bila lapar, yang menyuapi aku....ibu
Bila sendirian, yang selalu di sampingku.. ..ibu
Kata ibu, perkataan pertama yang aku sebut....Ibu
Bila bangun tidur, aku cari.....ibu
Bila nangis, orang pertama yang datang ....ibu
Bila ingin bermanja, aku dekati....ibu
Bila ingin bersandar, aku duduk sebelah....ibu
Bila sedih, yang dapat menghiburku hanya....ibu
Bila nakal, yang memarahi aku....ibu
Bila merajuk, yang membujukku cuma.....ibu
Bila melakukan kesalahan, yang paling cepat marah....ibu
Bila takut, yang menenangkan aku....ibu
Bila ingin peluk, yang aku suka peluk....ibu
Aku selalu teringatkan ....ibu
Bila sedih, aku mesti telepon....ibu
Bila senang, orang pertama aku ingin beritahu.... .ibu
Bila marah.. aku suka meluahkannya pada..ibu
Bila takut, aku selalu panggil... "ibuuuuu! "
Bila sakit, orang paling risau adalah....ibu
Bila aku ingin bepergian, orang paling sibuk juga.....ibu
Bila buat masalah, yang lebih dulu memarahi aku....ibu
Bila aku ada masalah, yang paling risau.... ibu
Yang masih peluk dan cium aku sampai hari ni.. ibu
Yang selalu masak makanan kegemaranku. ...ibu
Kalau pulang ke kampung, yang selalu memberi bekal.....ibu
Yang selalu menyimpan dan merapihkan barang-barang aku....ibu
Yang selalu berkirim surat dengan aku...ibu
Yang selalu memuji aku....ibu
Yang selalu menasihati aku....ibu
Bila ingin menikah..Orang pertama aku datangi dan minta
persetujuan.....ibu


namun setelah aku punya pasangan……………..
>>> Bila senang, aku cari....pasanganku
>>> Bila sedih, aku cari.....ibu
>>> Bila mendapat keberhasilan, aku ceritakan pada....pasanganku
>>> Bila gagal, aku ceritakan pada....ibu
>>> Bila bahagia, aku peluk erat....pasanganku
>>> Bila berduka, aku peluk erat....ibuku
>>> Bila ingin berlibur, aku bawa.....pasanganku
>>> Bila sibuk, aku antar anak ke rumah....ibu
>>> Bila sambut valentine.. Aku beri hadiah pada pasanganku
>>> Bila sambut hari ibu...aku cuma dapat ucapkan "Selamat Hari Ibu"
>>> Selalu... aku ingat pasanganku
>>> Selalu... ibu ingat aku
>>> Setiap saat... aku akan telepon pasanganku
>>> Entah kapan... aku ingin telepon ibu
>>> Selalu...aku belikan hadiah untuk pasanganku
>>> Entah kapan... aku ingin belikan hadiah untuk ibu
>>> Renungkan:
"Kalau kau sudah selesai belajar dan berkerja... masih ingatkah kau pada ibu?
Tidak banyak yang ibu inginkan... hanya dengan menyapa ibupun cukuplah".
>>> Berderai air mata jika kita mendengarnya........
>>> Tapi kalau ibu sudah tiada..........
>>> IBUUUU...RINDU IBU.... RINDU SEKALI....
>>> Berapa banyak yang sanggup menyuapi ibunya....
>>> Berapa banyak yang sanggup mencuci muntah ibunya.....
>>> Berapa banyak yang sanggup menggantikan alas tidur ibunya......
>>> Berapa banyak yang sanggup membersihkan najis ibunya...... .
>>> Berapa banyak yang sanggup membuang belatung dan membersihkan luka kudis
ibunya....
>>> Berapa banyak yang sanggup berhenti kerja untuk menjaga ibunya.....
>>> Berapa banyak yang sanggup meluangkan waktu untuk menjaga ibunya yang telah renta…..

Seorang anak menemui ibunya yang sedang sibuk menyediakan makan malam di
dapur lalu menghulurkan selembar kertas yang bertuliskan sesuatu. Si ibu
segera melap tangannya dan menyambut kertas yang dihulurkan oleh si anak
lalu membacanya. Upah membantu ibu:
>>> 1) Membantu pergi belanja : Rp 10.000,-
>>> 2) Membantu jaga adik : Rp 10.000,-
>>> 3) Membantu buang sampah : Rp 10.000,-
>>> 4) Membantu membereskan tempat tidur : Rp 10.000,-
>>> 5) Membantu siram bunga : Rp 5.000,-
>>> 6) Membantu sapu sampah : Rp 5.000,-
>>> Jumlah : Rp 40.000,-
>>> Selesai membaca, si ibu tersenyum memandang si anak , kemudian si ibu
mengambil pensil dan menulis sesuatu di belakang kertas yang sama.
>>> 1) Biaya mengandung selama 9 bulan - GRATIS
>>> 2) Biaya tidak tidur karena menjagamu - GRATIS
>>> 3) Biaya air mata yang menitik karenamu - GRATIS
>>> 4) Biaya gelisah karena mengkhawatirkanmu - GRATIS
>>> 5) Biaya menyediakan makan, minum, pakaian, dan keperluanmu -GRATIS
>>> Jumlah Keseluruhan Nilai Kasihku - GRATIS
>>> Air mata si anak berlinang setelah membaca apa yang dituliskan oleh
>>> si ibu. Si anak menatap wajah ibu,memeluknya dan berkata,
>>> "Saya Sayang Ibu". Kemudian si anak mengambil pensil dan menulis "Telah
>>> Dibayar Lunas Oleh Ibu" ditulisnya pada muka surat yang sama.

Semoga menginspirasi anak-anak kita..

Ditulis dan dikutip dari catatan kecil Doddy Hikmat Aditya...

Tanda tanganku

Lanjutan...
posted by Dimas at 8:32 PM

Indahnya persaudaraan ...

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu ditangannya. “Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”
Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!” Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus-menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.

Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”


Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten.

Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik… hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku. ” Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang.” Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas) . Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana! “Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?” Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…” Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23. Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!”
Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskansedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.” Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?” Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?” Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!” “Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sendoknya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Bisakah kita memiliki jiwa besar seperti si adik yang seperti dalam cerita, … tapi bagaimanapun, yang namanya Saudara patut kita jaga dan kita hormati, apakah itu seorang adik atau seorang kakak. Karena apa arti hidup kalau tidak bisa membahagiakan sodara dan keluarga kita.

Ditulis dan dikutip dari catatan kecil Dandan Hamdani...


Tanda tanganku

Lanjutan...
posted by Dimas at 8:21 PM

To All MoThErS - HaPpY AnNivErSaRy II

Anakku,
Bila ibu boleh memilih
Apakah ibu berbadan langsing atau berbadan besar karena mengandungmu
Maka ibu akan memilih mengandungmu...
Karena dalam mengandungmu ibu merasakan keajaiban dan kebesaran Allah

Sembilan bulan nak,,,, engkau hidup di perut ibu
Engkau ikut kemanapun ibu pergi
Engkau ikut merasakan ketika jantung ibu berdetak karena kebahagiaan
Engkau menendang rahim ibu ketika engkau merasa tidak nyaman, karena
ibu
kecewa dan berurai air mata...

Anakku,...
Bila ibu boleh memilih apakah ibu harus operasi caesar, atau ibu harus berjuang melahirkanmu Maka ibu memilih berjuang melahirkanmu
Karena menunggu dari jam ke jam, menit ke menit kelahiranmu
Adalah seperti menunggu antrian memasuki salah satu pintu surga
Karena kedahsyatan perjuanganmu untuk mencari jalan ke luar ke dunia sangat ibu rasakan Dan saat itulah kebesaran Allah menyelimuti kita berdua Malaikat tersenyum diantara peluh dan erangan rasa sakit ,
Yang tak pernah bisa ibu ceritakan kepada siapapun

Dan ketika engkau hadir, tangismu memecah dunia
Saat itulah... saat paling membahagiakan
Segala sakit & derita sirna melihat dirimu yang merah,
Mendengarkan ayahmu mengumandangkan adzan,
Kalimat syahadat kebesaran Allah dan penetapan hati tentang junjungan kita Rasulullah di telinga mungilmu

Anakku,...
Bila ibu boleh memilih apakah ibu berdada indah, atau harus bangun tengah malam untuk menyusuimu,maka ibu memilih menyusuimu,
Karena dengan menyusuimu ibu telah membekali hidupmu dengan tetesan-tetesan dan tegukan tegukan yang sangat berharga
Merasakan kehangatan bibir dan badanmu didada ibu dalam kantuk ibu,
Adalah sebuah rasa luar biasa yang orang lain tidak bisa rasakan


Anakku,
Bila ibu boleh memilih duduk berlama-lama di ruang rapat
Atau duduk di lantai menemanimu menempelkan puzzle
Maka ibu memilih bermain puzzle denganmu


Tetapi anakku...
Hidup memang pilihan ....
Jika dengan pilihan ibu , engkau merasa sepi dan merana
Maka maafkanlah nak ...
Maafkan ibu....
Maafkan ibu ...
Percayalah nak, ibu sedang menyempurnakan puzzle kehidupan kita , agar tidak ada satu kepingpun bagian puzzle kehidupan kita yang hilang
Percayalah nak ....
Sepi dan ranamu adalah sebagian duka ibu
Percayalah nak ...
Engkau akan selalu menjadi belahan nyawa ibu,,,,

Tribute: to my beloved-passed away mother and all mothers.

Ditulis dan dikutip dari catatan kecil Doddy Hikmat Aditya...


Tanda tanganku

Lanjutan...
posted by Dimas at 8:11 PM